catatan-catatan kecil tentang pengetahuan dan perasaan...

Senin, 05 Maret 2012

Bilingualisme Masyarakat di Indonesia dan Pengaruhnya dalam Pembelajaran BIPA



Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman kebudayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1992) dalam Chaer (2004: 164) bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Koentjaraingrat juga mengungkapkan salah satu bagian dari kebudayaan adalah bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang hanya dimiliki manusia. Bahasa digunakan sebagai alat interaksi di kehidupan masyarakat. Bahasa yang digunakan dalam masyarakat tertentu merupakan hasil dari kesepakatan masyarakat untuk menggunakan bahasa tersebut.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingualisme, atau masyarakat yang menggunakan lebih dari satu bahasa secara bergantian dalam komunikasinya sehari-hari. Bilingualisme yang terjadi pada masyarakat di Indonesia ini terjadi karena Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak suku dan masing-masing suku tersebut mempunyai bahasa daerah yang berbeda. Masyarakat Indonesia kebanyakan menggunakan dua bahasa secara bergantian dalam komunikasinya, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
Sesuai dengan yang tercantum dalam Sumpah Pemuda 1928 bahwa  bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu. Hal tersebut disebabkan keanekaragaman bahasa daerah yang ada di Indonesia. Dari sana lah kemudian bahasa Indonesia dijadikan lingua franca agar masyarakat Indonesia dapat berkomunikasi dengan antarsuku yang memiliki bahasa ibu yang berbeda.
Bahasa daerah dan Bahasa Indonesia masing-masing memiliki fungsi di dalam masyarakat. Bahasa daerah biasanya digunakan dalam ragam nonformal untuk kebutuhan komunikasi sehari-hari, dan bahasa Indonesia digunakan pada ragam formal seperti bahasa pengantar di dunia pendidikan.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa penghubung antar masyarakat di Indonesia yang memiliki bahasa ibu yang berbeda. Hal tersebut terbukti dalam kehidupan nyata di masyarakat. Sebagai ilustrasi, suatu ketika di sebuah rumah kontrakan terjadi pembicaraan antara Ibnu dan Sujadi yang sama-sama berasal dari Cirebon, mereka berbincang-bincang menggunakan bahasa Cirebon, kemudian ketika mereka sedang bercakap-cakap masuklah Yulian yang berasal dari Lampung. Yulian menyapa mereka menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian mereka pun langsung terlibat pembicaraan dalam bahasa Indonesia. Namun, ketika Yulian kembali keluar dari rumah, Ibnu dan Sujadi pun kembali berbincang-bincang menggunakan bahasa Cirebon. Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa kapan bahasa pertama dan bahasa kedua itu digunakan bergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Atau seperti yang dirumuskan Fishman dalam Chaer (2004: 7) bahwa penggunaan bahasa di masyarakat mencakup “who speak, what language, to whom, when, and to what end”
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa Cirebon atau bahasa daerah ke bahasa Indonesia di sebut dengan alih kode. Appel (1976) dalam Chaer (2004: 107) mengungkapkan bahwa alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yang bilingualisme, alih kode tersebut biasa dilakukan karena berubahnya situasi. Seperti pada ilustrasi di atas, alih kode yang dilakukan Ibnu dan Sujadi terjadi karena berubahnya situasi, yaitu dengan datangnya Yulian. Situasi yang terjadi antara Ibnu dan Sujadi yang awalnya berbincang-bincang menggunakan bahasa Cirebon berubah ketika Yulian yang tidak tidak mengerti bahasa Cirebon datang. Bahasa Indonesia digunakan karena ketiganya mengerti bahasa Indonesia.
Kasus kebahasaan lainnya yang terjadi pada masyarakat adalah diglosia. Diglosia menurut Ferguson (1971) merupakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Ferguson (1971) juga mengungkapkan dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa, variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat ragam R).
Di dalam masyarakat yang dikarakteristikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, menurut Chaer (2004: 103) hampir semua mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Chaer (2004: 103) juga melanjutkan kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh masyarakat yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay. Seperti yang dilaporkan oleh Rubin (1968) dan Fishman (1972), masyarakat di Paraguay menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Guarani yang merupakan bahasa asli Amerika yang berstatus sebagai bahasa R dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T.
Salah satu alasan mengapa bahasa tertentu dianggap sebagai bahasa ragam T seperti yang diungkapkan Chaer (2004: 94) adalah karena bahasa tersebut dianggap lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Di Indonesia, kebanyakan bahasa daerah memiliki tingkatan ragam T dan ragam R. Contohnya adalah bahasa Jawa, bahasa Jawa ragam R digunakan pada pergaulan sehari-hari. Sedangkan ragam T digunakan pada acara resmi seperti upacara adat. Selain bahasa daerah, bahasa Indonesia sendiri memiliki ragam T dan ragam R. Ragam R untuk bahasa Indonesia nonbaku dan ragam T untuk ragam baku. Ragam baku menurut Chaer (2004: 95) merupakan ragam yang dianggap lebih bergengsi. Bahasa ragam baku tersebut biasanya digunakan dalam acara-acara resmi. Ragam T bahasa Indonesia akan diperoleh dengan mempelajarinya di pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka yang tidak memasuki pendidikan formal tidak akan mengenal bahasa Indonesia ragam T.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang bilingual yang terbiasa menggunakan lebih dari satu bahasa dalam komunikasinya sehari-hari, masyarakat Indonesia juga termasuk masyarakat yang diglosis yang memiliki ragam bahasa. Orang asing yang datang ke Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia atau biasa disebut dengan pembelajar BIPA akan merasakan keanekaragaman bahasa yang digunakan masyarakat di Indonesia. Untuk itu, dalam pembelajaran BIPA perlu diperkenalkan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia termasuk bahasa-bahasa daerahnya. Untuk pembelajaran BIPA secara formal di dalam kelas, para pembelajar diperkenalkan dengan bahasa Indonesia ragam baku, karena bahasa Indonesia ragam nonbaku akan didapatkan pembelajar dalam pergaulan di luar kelas. Ketika pembelajar BIPA tersebut bergaul dengan lingkungan di luar kelas, mereka akan merasakan perbedaan antara bahasa Indonesia ragam baku dan nonbaku.
Saat kegiatan evaluasi, kemungkinan para pembelajar akan merasa bingung ketika pembelajar ditugaskan untuk berbicara di dalam kelas atau menulis paragraf dalam bahasa Indonesia. Para pembelajar mungkin masih bingung dalam memilih ragam bahasa mana yang akan digunakan, ragam formal yang diperoleh dari pembelajaran di kelas atau ragam non formal yang diperoleh dari pergaulan dengan lingkungan setempat. Di sinilah tugas pengajar untuk  menjelaskan perbedaan ragam bahasa tersebut dan bagaimana kedudukan ragam bahasa tersebut di masyarakat.
Dalam pembelajaran BIPA, selain bahasa ragam baku, perlu diperkenalkankan pula budaya-budaya atau bahasa daerah setempat. Contohnya, jika pembelajar BIPA tersebut berada di ligkungan masyarakat Sunda yang kebanyakan berbahasa Sunda, maka pengajar perlu mengajarkan bagaimana adat atau kebiasaan yang ada di masyarakat Sunda, misalnya mengucapkan kata punten jika berjalan di depan orang yang lebih tua atau berjalan ketika ada kerumunan orang yang sedang berkumpul, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya.
Masalah bilingualisme dan diglosia yang ada dalam masyarakat di Indonesia sangat berpengaruh dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi pembelajar BIPA. Agar pembelajar BIPA tidak merasa bingung dengan fenomena kebahasaan yang ada di Indonesia, pengajar harus bisa menjelaskan fenomena kebahasaan tersebut. Pembelajar BIPA pun akan mengetahui bahwa masyarakat Indonesia memiliki keanekaragaman bahasa serta budaya yang begitu kaya.

Sumber Rujukan:
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolingustik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Subyakto, Sri Utari. 1988. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_________________. Life with Two Language. ______________


Tidak ada komentar:

Posting Komentar