Indonesia
merupakan negara dengan keanekaragaman kebudayaan. Seperti yang diungkapkan
oleh Koentjaraningrat (1992) dalam Chaer (2004: 164) bahwa kebudayaan itu hanya
dimiliki manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia.
Koentjaraingrat juga mengungkapkan salah satu bagian dari kebudayaan adalah
bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang hanya dimiliki manusia.
Bahasa digunakan sebagai alat interaksi di kehidupan masyarakat. Bahasa yang
digunakan dalam masyarakat tertentu merupakan hasil dari kesepakatan masyarakat
untuk menggunakan bahasa tersebut.
Masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang bilingualisme, atau masyarakat yang
menggunakan lebih dari satu bahasa secara bergantian dalam komunikasinya
sehari-hari. Bilingualisme yang terjadi pada masyarakat di Indonesia ini
terjadi karena Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak suku dan
masing-masing suku tersebut mempunyai bahasa daerah yang berbeda. Masyarakat
Indonesia kebanyakan menggunakan dua bahasa secara bergantian dalam
komunikasinya, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia
sebagai bahasa kedua.
Sesuai dengan
yang tercantum dalam Sumpah Pemuda 1928 bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu. Hal tersebut disebabkan
keanekaragaman bahasa daerah yang ada di Indonesia. Dari sana lah kemudian
bahasa Indonesia dijadikan lingua franca
agar masyarakat Indonesia dapat berkomunikasi dengan antarsuku yang memiliki
bahasa ibu yang berbeda.
Bahasa daerah
dan Bahasa Indonesia masing-masing memiliki fungsi di dalam masyarakat. Bahasa
daerah biasanya digunakan dalam ragam nonformal untuk kebutuhan komunikasi
sehari-hari, dan bahasa Indonesia digunakan pada ragam formal seperti bahasa
pengantar di dunia pendidikan.
Seperti yang
telah disebutkan di atas bahwa bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa
penghubung antar masyarakat di Indonesia yang memiliki bahasa ibu yang berbeda.
Hal tersebut terbukti dalam kehidupan nyata di masyarakat. Sebagai ilustrasi,
suatu ketika di sebuah rumah kontrakan terjadi pembicaraan antara Ibnu dan
Sujadi yang sama-sama berasal dari Cirebon, mereka berbincang-bincang
menggunakan bahasa Cirebon, kemudian ketika mereka sedang bercakap-cakap
masuklah Yulian yang berasal dari Lampung. Yulian menyapa mereka menggunakan
bahasa Indonesia. Kemudian mereka pun langsung terlibat pembicaraan dalam
bahasa Indonesia. Namun, ketika Yulian kembali keluar dari rumah, Ibnu dan
Sujadi pun kembali berbincang-bincang menggunakan bahasa Cirebon. Dari
ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa kapan bahasa pertama dan bahasa kedua
itu digunakan bergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi
sosial pembicaraan. Atau seperti yang dirumuskan Fishman dalam Chaer (2004: 7)
bahwa penggunaan bahasa di masyarakat mencakup “who speak, what language, to whom, when, and to what end”.
Peristiwa
pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa Cirebon
atau bahasa daerah ke bahasa Indonesia di sebut dengan alih kode. Appel (1976)
dalam Chaer (2004: 107) mengungkapkan bahwa alih kode itu sebagai gejala
peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia yang bilingualisme, alih kode tersebut biasa dilakukan
karena berubahnya situasi. Seperti pada ilustrasi di atas, alih kode yang dilakukan
Ibnu dan Sujadi terjadi karena berubahnya situasi, yaitu dengan datangnya
Yulian. Situasi yang terjadi antara Ibnu dan Sujadi yang awalnya
berbincang-bincang menggunakan bahasa Cirebon berubah ketika Yulian yang tidak
tidak mengerti bahasa Cirebon datang. Bahasa Indonesia digunakan karena
ketiganya mengerti bahasa Indonesia.
Kasus kebahasaan
lainnya yang terjadi pada masyarakat adalah diglosia. Diglosia menurut Ferguson
(1971) merupakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari
satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan
tertentu. Ferguson (1971) juga mengungkapkan dalam masyarakat diglosis terdapat
dua variasi dari satu bahasa, variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat
ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat ragam R).
Di dalam
masyarakat yang dikarakteristikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan
diglosia, menurut Chaer (2004: 103) hampir semua mengetahui ragam atau bahasa T
dan ragam atau bahasa R. Chaer (2004: 103) juga melanjutkan kedua ragam atau
bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat
dipertukarkan. Contoh masyarakat yang bilingual dan diglosis adalah di
Paraguay. Seperti yang dilaporkan oleh Rubin (1968) dan Fishman (1972),
masyarakat di Paraguay menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Guarani yang
merupakan bahasa asli Amerika yang berstatus sebagai bahasa R dan bahasa
Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T.
Salah satu
alasan mengapa bahasa tertentu dianggap sebagai bahasa ragam T seperti yang
diungkapkan Chaer (2004: 94) adalah karena bahasa tersebut dianggap lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis.
Di Indonesia, kebanyakan bahasa daerah memiliki tingkatan ragam T dan ragam R.
Contohnya adalah bahasa Jawa, bahasa Jawa ragam R digunakan pada pergaulan
sehari-hari. Sedangkan ragam T digunakan pada acara resmi seperti upacara adat.
Selain bahasa daerah, bahasa Indonesia sendiri memiliki ragam T dan ragam R.
Ragam R untuk bahasa Indonesia nonbaku dan ragam T untuk ragam baku. Ragam baku
menurut Chaer (2004: 95) merupakan ragam yang dianggap lebih bergengsi. Bahasa
ragam baku tersebut biasanya digunakan dalam acara-acara resmi. Ragam T bahasa
Indonesia akan diperoleh dengan mempelajarinya di pendidikan formal, sedangkan
ragam R diperoleh dari pergaulan dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka yang
tidak memasuki pendidikan formal tidak akan mengenal bahasa Indonesia ragam T.
Seperti yang
telah dipaparkan di atas bahwa masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang
bilingual yang terbiasa menggunakan lebih dari satu bahasa dalam komunikasinya
sehari-hari, masyarakat Indonesia juga termasuk masyarakat yang diglosis yang
memiliki ragam bahasa. Orang asing yang datang ke Indonesia untuk belajar
bahasa Indonesia atau biasa disebut dengan pembelajar BIPA akan merasakan
keanekaragaman bahasa yang digunakan masyarakat di Indonesia. Untuk itu, dalam
pembelajaran BIPA perlu diperkenalkan keanekaragaman budaya yang ada di
Indonesia termasuk bahasa-bahasa daerahnya. Untuk pembelajaran BIPA secara
formal di dalam kelas, para pembelajar diperkenalkan dengan bahasa Indonesia
ragam baku, karena bahasa Indonesia ragam nonbaku akan didapatkan pembelajar
dalam pergaulan di luar kelas. Ketika pembelajar BIPA tersebut bergaul dengan
lingkungan di luar kelas, mereka akan merasakan perbedaan antara bahasa
Indonesia ragam baku dan nonbaku.
Saat kegiatan
evaluasi, kemungkinan para pembelajar akan merasa bingung ketika pembelajar
ditugaskan untuk berbicara di dalam kelas atau menulis paragraf dalam bahasa
Indonesia. Para pembelajar mungkin masih bingung dalam memilih ragam bahasa
mana yang akan digunakan, ragam formal yang diperoleh dari pembelajaran di
kelas atau ragam non formal yang diperoleh dari pergaulan dengan lingkungan
setempat. Di sinilah tugas pengajar untuk
menjelaskan perbedaan ragam bahasa tersebut dan bagaimana kedudukan
ragam bahasa tersebut di masyarakat.
Dalam
pembelajaran BIPA, selain bahasa ragam baku, perlu diperkenalkankan pula
budaya-budaya atau bahasa daerah setempat. Contohnya, jika pembelajar BIPA
tersebut berada di ligkungan masyarakat Sunda yang kebanyakan berbahasa Sunda,
maka pengajar perlu mengajarkan bagaimana adat atau kebiasaan yang ada di
masyarakat Sunda, misalnya mengucapkan kata punten
jika berjalan di depan orang yang lebih tua atau berjalan ketika ada
kerumunan orang yang sedang berkumpul, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya.
Masalah
bilingualisme dan diglosia yang ada dalam masyarakat di Indonesia sangat
berpengaruh dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi pembelajar BIPA. Agar
pembelajar BIPA tidak merasa bingung dengan fenomena kebahasaan yang ada di
Indonesia, pengajar harus bisa menjelaskan fenomena kebahasaan tersebut.
Pembelajar BIPA pun akan mengetahui bahwa masyarakat Indonesia memiliki
keanekaragaman bahasa serta budaya yang begitu kaya.
Sumber Rujukan:
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolingustik Perkenalan Awal. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Subyakto, Sri Utari. 1988. Psikolinguistik: Suatu Pengantar.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_________________. Life with Two Language. ______________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar