Aku sering
menjumpaimu duhai lelaki pencari rumput, setiap pagi ketika aku berada di
bangku sekolah dasar. Aku mengenalmu, hanya saja aku bingung apa yang harus aku
katakan.
Aku melihatmu
setiap hari dengan baju lusuh, karung, dan sabit. Lalu melintas di depan
rumahku sambil tersenyum padaku. Aku mengenalmu, aku ada karena kau terlebih
dulu ada di dunia ini. Hanya saja, aku tak terbiasa berbincang denganmu. Tentu kau
tahu alasannya. Sejak bayi aku tak terbiasa berada di sisimu. Sejak tulang
kakiku belum cukup kuat untuk berjalan, kau sudah membawaku keluar dari
asuhanmu.
Duhai lelaki
berjiwa besar, sekali saja, sebenarnya aku ingin berbincang-bincang denganmu
tentang hidupmu dan hidupku. Tentang perbedaan arah jalan hidupmu dan jalan
hidupku. Aku hanya ingin bertanya, mengapa kau mengantarkan aku ke jalan hidup
yang berbeda denganmu. Jalan hidup yang kau sendiri tak pernah merasakannya. Membawaku
pada semua keberuntungan ini, sedangkan kau? Kau letih berteman karungan
rumputmu.
Sungguh aku tak
ingat kapan terakhir kali aku mencium tanganmu. Yah, mencium tanganmu adalah
hal yang sakral. Mungkin jumlahnya bisa dihitung jari. Aku mencium tanganmu mungkin
hanya saat perayaan sakral umat muslim tiba. Bahkan parahnya, kalau aku tak
diajarkan oleh mereka, orang tua yang mengasuhku, mungkin aku tak akan pernah
mencium tanganmu, mengenal sosokmu, dan tersenyum padamu.
Bapak...
Panggilan itu yang
mereka ajarkan padaku jika aku bertemu denganmu.
Ketika terakhir kali anak laki-lakimu mengatakan padaku kau sedang dalam sekarat, aku pun masih dalam
tenang. Bersiap menuju tempatmu dengan tak khawatir pada apa pun, padahal sudah
jelas nyawamu sudah di ujung waktu.
Beberapa bulan
yang lalu, ketika anak laki-lakimu menikah, aku melihat dia menangis. Ku tanyakan
hal yang terasa aneh tersebut pada anak laki-lakimu yang lain. Kemudian dia
berkata bahwa anak laki-lakimu yang akan menikah itu menangis karena kau tak di
sini menyaksikan dia menemui takdirnya, pendamping hidupnya.
Aku benar-benar
menciut. Seketika aku runtuh. Aku merasa benar-benar jauh dari jangkauanmu.
Bapak... sekali
saja aku ingin memeluk tubuh rentamu.
Tapi mustahil. Kau, sudah menempati tempat itu. Pusara
terakhirmu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar