catatan-catatan kecil tentang pengetahuan dan perasaan...

Senin, 05 Maret 2012

Kepada Lelaki Pencari Rumput

Aku sering menjumpaimu duhai lelaki pencari rumput, setiap pagi ketika aku berada di bangku sekolah dasar. Aku mengenalmu, hanya saja aku bingung apa yang harus aku katakan.

Aku melihatmu setiap hari dengan baju lusuh, karung, dan sabit. Lalu melintas di depan rumahku sambil tersenyum padaku. Aku mengenalmu, aku ada karena kau terlebih dulu ada di dunia ini. Hanya saja, aku tak terbiasa berbincang denganmu. Tentu kau tahu alasannya. Sejak bayi aku tak terbiasa berada di sisimu. Sejak tulang kakiku belum cukup kuat untuk berjalan, kau sudah membawaku keluar dari asuhanmu.
Duhai lelaki berjiwa besar, sekali saja, sebenarnya aku ingin berbincang-bincang denganmu tentang hidupmu dan hidupku. Tentang perbedaan arah jalan hidupmu dan jalan hidupku. Aku hanya ingin bertanya, mengapa kau mengantarkan aku ke jalan hidup yang berbeda denganmu. Jalan hidup yang kau sendiri tak pernah merasakannya. Membawaku pada semua keberuntungan ini, sedangkan kau? Kau letih berteman karungan rumputmu.
Sungguh aku tak ingat kapan terakhir kali aku mencium tanganmu. Yah, mencium tanganmu adalah hal yang sakral. Mungkin jumlahnya bisa dihitung jari. Aku mencium tanganmu mungkin hanya saat perayaan sakral umat muslim tiba. Bahkan parahnya, kalau aku tak diajarkan oleh mereka, orang tua yang mengasuhku, mungkin aku tak akan pernah mencium tanganmu, mengenal sosokmu, dan tersenyum padamu.
Bapak...
Panggilan itu yang mereka ajarkan padaku jika aku bertemu denganmu.
Ketika terakhir kali anak laki-lakimu mengatakan padaku kau sedang dalam sekarat, aku pun masih dalam tenang. Bersiap menuju tempatmu dengan tak khawatir pada apa pun, padahal sudah jelas nyawamu sudah di ujung waktu.
Beberapa bulan yang lalu, ketika anak laki-lakimu menikah, aku melihat dia menangis. Ku tanyakan hal yang terasa aneh tersebut pada anak laki-lakimu yang lain. Kemudian dia berkata bahwa anak laki-lakimu yang akan menikah itu menangis karena kau tak di sini menyaksikan dia menemui takdirnya, pendamping hidupnya.
Aku benar-benar menciut. Seketika aku runtuh. Aku merasa benar-benar jauh dari jangkauanmu.
Bapak... sekali saja aku ingin memeluk tubuh rentamu.
Tapi  mustahil. Kau, sudah menempati tempat itu. Pusara terakhirmu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar