Dalam lirik kerinduan yang
sekian lama tak tersentuh, aku kembali menuliskanmu. Dulu, bertahun-tahun yang
lalu ketika aku mencintaimu dengan cara yang lugu, aku ingin sekali kau
mengerti tentang semua ini, tentang perasaan yang sulit ku definisikan. Perasaan
yang muncul ketika aku belum mendapat banyak pengetahuan. Namun, dalam
ketidakmengertian itu aku menyimpan banyak pertanyaan tentangmu.
Bocah kecil yang tak mengerti
apa-apa, setiap hari menuliskanmu dalam bait-bait yang tak jelas
keteraturannya. Tak mengenal tata keindahan bahasa, hanya mencoba jujur pada
sebuah buku yang dia punya. Di tiap lembar kertas itu ada kejujuran, keluguan
untuk mencintai seseorang yang tak dia tahu bagaimana perasaannya. Ya, aku,
bocah kecil yang hanya ingin memberi tahu betapa dia mencintaimu.
Sejak lama sekali, kau
tersimpan di dalam lembar-lembar kertas itu, dalam sebuah buku yang masih bisa
dipastikan keberadaannya. Berharap suatu saat kau membacanya dan akhirnya tahu
perasaan yang tersimpan di dalamnya. Namun, sampai akhir semuanya terpisah,
sampai kau dan aku tak saling tahu keberadaan masing-masing, kau tetap tak
mengetahuinya. Selalu dan sampai saat ini ada pertanyaan terselip di celah
perasaan yang tenggelam oleh waktu, apakah kau sepertiku?
Kemudian waktu mempermainkan
kita kembali, mempertemukan aku dan kau.
Namamu, sejak dulu hingga pada
saat kita kembali mengetahui keberadaan masing-masing tetap istimewa. Entah,
dimana letak keistimewaan namamu. Yang aku tahu, ketika aku membaca dan
menyebutkan namamu, ada senyum kecil mengembang.
Aku pikir namamu tak seistimewa dulu, ketika kau menjadi
yang pertama dan satu-satunya untukku. Namun, ternyata tidak. Perasaan itu
masih tetap ada ketika kau kembali dihadirkan dalam hidupku pada pertengahan
Desember kemarin. Kau tetap mengembangkan senyum kecilku.
Ketika untuk pertama kalinya kau dihadirkan kembali dalam
hidupku, kau tahu apa yang pertama aku cari? Ya, kesendirianmu. Agak konyol
memang, dan benar saja, kecewa yang aku dapat, kau memiliki kekasih.
Sebuah kebodohan pun terjadi, yg seharusnya dari awal tak
ku lakukan. Aku memilih memunculkan perasaan yang dulu itu padamu lagi. Mudah,
karena pada dasarnya aku mencintaimu sejak dulu. Bagiku hanya dengan mengeduk
kembali perasaan yang telah banyak terkubur oleh waktu, setelah itu kau pun
kembali menjadi sosok yang istimewa.
Sayangnya, perasaanku egois. Aku tak memikirkan perasaan
wanita yang juga mencintaimu. Wanita yang telah lama mendampingi hari-harimu.
Wanita yang kau cintai. Aku tak berpikir bahwa mencintaimu berarti memberikan
luka untukku dan untuknya, bahwa mencintaimu berarti memberikan peluang untukmu
menyakiti hatiku dan hatinya.
Pada akhirnya aku menyerah dengan perasaanku.
Ternyata aku tak sekuat dugaanku. Aku sakit, terlalu sakit. Semua perasaan ini
membuatku begitu lemah. Jika boleh memilih, aku lebih memilih berada pada
posisi kekasihmu yang sebenarnya. Dia tak mengetahui apapun tentang kita,
tetapi aku, aku tahu segalanya tentang kita, dan tentang kau dan dia.
Aku memutuskan untuk berhenti menjadi sosok yang
‘ilegal’, menyudahi semua ini yang sudah terlalu menyakiti hatiku dan hatinya.
Aku memilih mundur, karena pada dasarnya kau sangat mencintainya, dia lebih
lama mengisi hari-harimu secara nyata. Tidak seperti aku, sosok maya yang hanya
ada di dunia maya, tak terlihat.
Aku mengalah semata karena aku yakin, jika memang Tuhan
menakdirkan kau untukku, sejauh apapun kau pergi, sebanyak apapun kau
melabuhkan hatimu, suatu saat kau pasti akan kembali pada hati yang sejak dulu
menantimu.
Jika suatu saat takdir kembali mempertemukan kau dan aku,
dan membiarkan perasaan ini akhirnya jatuh padamu, aku berharap hanya aku yang
ada di takdirmu, tanpa ada seseorang lain yang akan tersakiti.
Sebab cinta, aku tak ingin
membuatmu memilih.
Sebab cinta, aku tak ingin membuatmu terus-menerus
menyakiti hatinya.
Biarkan waktu yang mempermainkan kita kembali, seperti
pada perjumpaan kemarin, namun tanpa harus ada kesakitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar